
Dien DalamPerspektif tafsir Al-qur'an
Bab I
Kata "dien" secara bahasa digunakan dalam berbagai konteks atau uslub dengan banyak makna, seperti ketundukan, ketaatan, kehinaan, menguasai, balasan, agama dan jalan hidup. Kata "dien" secara semantik berkisar pada makna : hubungan korelatif antara dua pihak, jika salah satunya menyerahkan ketundukan dan ketaatan, maka fihak lainnya adalah pemegang otoritas dan kekuasaan. Hubungan yang terjadi antara dua pihak ini diatur dalam prinsip-prinsip berbentuk sekumpulan tataaturan atau sistem yang mengikat.
Menurut Dr. Darraz, dalam studi perbandingan agama (muqaranat al-adyaan), kata "dien" selalu dimaksudkan dengan dua keadaan. Pertama, pengalaman personal (état subjectif), berupa ketaatan individu pada Dzat Tuhan, dan kedua, adalah fakta eksternal (al-haqiiqah al-khaarijiyah, faith objectif), berupa sekumpulan prinsip dan aturan mengenai keyakinan dan perilaku yang menjadi agama suatu umat.
Klasifikasi Dr. Darraz ini sesuai dengan keterangan para mufassir terhadap makna "dien" yang digunakan dalam Al-Qur'an. Dalam berbagai konteks penggunaannya, "dien" dalam Al-Qur'an diantaranya memiliki dua makna pokok yaitu syariat (syariah) dan ketaatan (tho'ah). Syariat konotasinya kepada dien sebagai agama yang berisi aturan-aturan Tuhan, sedangkan ketaatan (tho'ah) berarti ketundukan personal seorang manusia kepada Tuhannya.
Ayat berikut menggunakan kata "dien" dengan arti syariat. Allah berfirman,
Sesungguhnya dien (yang diterima) disisi Allah adalah Al-Islam (Q.S. Ali Imran [3]: 19).
Kesimpulan tersebut dapat ditemukan berdasarkan penjelasan para mufassir. Komentar Imam Qatadah tentang ayat ini, "Islam adalah kesaksian tentang keesaan Allah sambil berikrar akan kebenaran apa yang dibawa Muhammad Saw dari Allah. Islam adalah dien Allah, sebagai syariat dari-Nya dan menjadi misi bagi para rasul-Nya..." Imam Qatadah menyebut makna dien dalam ayat ini adalah "syariat Allah yang menjadi misi para Rasul", sedangkan syariat itu sendiri adalah "apa yang dibawa Nabi Muhammad saw. dari Allah". Jelas bahwa syariat adalah dien dengan arti kumpulan sistem ibadah.
Ibnu Katsir menerangkan ayat diatas, "(Ini adalah) berita dari Allah Ta'ala bahwa tiada dien yang Dia terima selain Islam. Sedang Islam adalah ittiba' pada para utusan Allah di setiap masa hingga ditutup oleh Nabi Muhammad saw. Setelah itu, tertutup pula semua jalan-jalan peribadatan kecuali jalan Nabi Muhammad saw. Maka barangsiapa yang bertemu Allah setelah diutusnya Muhamamad saw dengan dien selain dari syariatnya, dia tidak akan diterima…" Serupa dengan Imam Qatadah, Ibnu Katsir menyebut "dien" dengan makna syariat, sedang Islam adalah syariat Muhammad saw.
Makna lebih tegas dapat ditangkap dari tafsir Abu Hayyan. Dalam Al-Bahrul-Muhiith, ketika sampai di ayat ini penulis berkata, "Yakni (makna dari "dien") adalah millah dan syariat". Makna kedua dari "dien" dengan arti ketaatan personal adalah seperti dalam Al-A'raaf ayat 29. Allah berfirman : "Katakanlah, Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil dan (mengatakan) hadapkanlah wajahmu dengan lurus di tiap masjid dan berdoalah dengan mengikhlaskan dien bagi-Nya".
Kata Imam Ath-Thabari, "Beribadahlah untuk Tuhanmu dengan mengikhlaskandien dan ketaatan dan jangan mencampurinya dengan syirik." Ath-Thabari menyandingkan makna "dien" dalam ayat ini dengan ketaatan. Al-Baghawi menyatakan makna "dien" di ayat ini sebagai "ketaatan dan ibadah" Demikian pula Abu Hayyan dalam tafsirnya mengartikan "dien" dengan ketaatan.
Klasifikasi makna "dien" ini sangat berguna dalam menganalisa hubungan antara agama dan perilaku penganutnya dari sudut pandang Al-Qur'an dan tafsir.
Syariat Diniyyah
Ketika menafsirkan kata syariat dalam ayat Al-Maidah 48 Ibnu Katsir mengatakan, "Syariat secara bahasa berarti jalan yang terang menuju sumber air. Kemudian kata ini digunakan untuk menyebut syariat Allah bagi hamba-Nya yaitu dien". Ayat yang dimaksud adalah, "Dan Kami jadikan bagi tiap umat dari antara kamusyir'ah dan minhaj".
Keterangan Ibnu Katsir ini menggambarkan makna syariat adalah aturan yang ditetapkan Allah untuk menuju ridha-Nya. Ini adalah pengertian "syariah" dalam tafsir Al-Qur'an yang juga bisa didapat di berbagai kitab tafsir lain. Dengan pengertian ini, awalnya syariah ditujukan kepada segala sesuatu yang ditetapkan Allah dalam agamanya baik itu masalah ibadah maupun masalah keyakinan (aqidah). Namun dalam perkembangannya, kata "syariah" lebih khusus hanya digunakan sebagai undang-undang Allah mengenai perbuatan manusia (ahkam syar'iyah).
Dalam perbandingan agama, unsur-unsur pokok yang melembagakan agama-agama besar dunia ada empat yaitu tuhan, kitab suci, formalitas peribadatan (thuqus wa marasim) dan sistem keyakinan ('aqa'id). Kepercayaan-kepercayaan lokal mungkin minus kitab suci dan bertahan dengan tradisi oral dan ritual sebagai referensi agama. Tapi unsur selainnya tetap sama.
Empat unsur agama ini intens dibicarakan dalam Al-Qur'an. Konsep Tuhan dalam Al-Qur'an diulas dengan berbagai uslub. Al-Qur'an membicarakan konsep Tuhan sebagai sesembahan (ilah), sebagai sebab penciptaan dan pengaturan alam (rabb) serta Dzat yang memiliki sifat-sifat. Al-Qur'an membicarakan kitab suci sebagai landasan agama yang merupakan firman Tuhan yang membimbing manusia. Juga dibicarakan kitab suci sebagai sasaran manipulasi.
Sistem keyakinan manusia dibicarakan dengan gaya kritik atau bimbingan. Masalah aqidah dalam Al-Qur'an dibicarakan memiliki genealogi dan sistem. Al-Qur'an sering mengajak manusia berfikir logis dan sistematis demi membuktikan kebenaran tauhid dan kebatilan syirik.
Adapun peribadatan formal (thuqus wa marasim diniyyah) adalah tatacara peribadatan yang diatur menurut otoritas ketuhanan. Menurut Al-Qur'an manusia harus patuh pada cara-cara yang ditentukan oleh Tuhan dalam melakukan ketundukan padaNya, bukannya membuat cara ibadah sendiri (bid'ah) dengan sesuka hatinya seperti yang dilakukan oleh musyrikin Arab atau orang-orang Yahudi.
Tuhan adalah pemegang otoritas tertinggi dalam agama yang menyampaikan wahyu, tertulis dalam bentuk kitab suci, berisi sistem keyakinan yang mendeskripsikan gambaran tentang Tuhan dan alam gaib serta tatacara ibadah sebagai media manusia dalam mengekspresikan ketundukannya. Pada kenyataannya, deskripsi Al-Qur'an terhadap agama-agama memang sesuai sebagaimana adanya. Referensi :
• Dr. M. Darraz, Lisaanul Arab.
• Ar-Raghib Al-Ashfahani, Mufradaatul Alfadhil Qur'an.
• Tafsir Ath-Thabari.
• Tafsir Ibnu Katsir.
• Tafsir Al-Bahrul Muhith.
• Tafsir Al-Baghawi.Lanjut Bab II
Kata "dien" secara bahasa digunakan dalam berbagai konteks atau uslub dengan banyak makna, seperti ketundukan, ketaatan, kehinaan, menguasai, balasan, agama dan jalan hidup. Kata "dien" secara semantik berkisar pada makna : hubungan korelatif antara dua pihak, jika salah satunya menyerahkan ketundukan dan ketaatan, maka fihak lainnya adalah pemegang otoritas dan kekuasaan. Hubungan yang terjadi antara dua pihak ini diatur dalam prinsip-prinsip berbentuk sekumpulan tataaturan atau sistem yang mengikat.
Menurut Dr. Darraz, dalam studi perbandingan agama (muqaranat al-adyaan), kata "dien" selalu dimaksudkan dengan dua keadaan. Pertama, pengalaman personal (état subjectif), berupa ketaatan individu pada Dzat Tuhan, dan kedua, adalah fakta eksternal (al-haqiiqah al-khaarijiyah, faith objectif), berupa sekumpulan prinsip dan aturan mengenai keyakinan dan perilaku yang menjadi agama suatu umat.
Klasifikasi Dr. Darraz ini sesuai dengan keterangan para mufassir terhadap makna "dien" yang digunakan dalam Al-Qur'an. Dalam berbagai konteks penggunaannya, "dien" dalam Al-Qur'an diantaranya memiliki dua makna pokok yaitu syariat (syariah) dan ketaatan (tho'ah). Syariat konotasinya kepada dien sebagai agama yang berisi aturan-aturan Tuhan, sedangkan ketaatan (tho'ah) berarti ketundukan personal seorang manusia kepada Tuhannya.
Ayat berikut menggunakan kata "dien" dengan arti syariat. Allah berfirman,
Sesungguhnya dien (yang diterima) disisi Allah adalah Al-Islam (Q.S. Ali Imran [3]: 19).
Kesimpulan tersebut dapat ditemukan berdasarkan penjelasan para mufassir. Komentar Imam Qatadah tentang ayat ini, "Islam adalah kesaksian tentang keesaan Allah sambil berikrar akan kebenaran apa yang dibawa Muhammad Saw dari Allah. Islam adalah dien Allah, sebagai syariat dari-Nya dan menjadi misi bagi para rasul-Nya..." Imam Qatadah menyebut makna dien dalam ayat ini adalah "syariat Allah yang menjadi misi para Rasul", sedangkan syariat itu sendiri adalah "apa yang dibawa Nabi Muhammad saw. dari Allah". Jelas bahwa syariat adalah dien dengan arti kumpulan sistem ibadah.
Ibnu Katsir menerangkan ayat diatas, "(Ini adalah) berita dari Allah Ta'ala bahwa tiada dien yang Dia terima selain Islam. Sedang Islam adalah ittiba' pada para utusan Allah di setiap masa hingga ditutup oleh Nabi Muhammad saw. Setelah itu, tertutup pula semua jalan-jalan peribadatan kecuali jalan Nabi Muhammad saw. Maka barangsiapa yang bertemu Allah setelah diutusnya Muhamamad saw dengan dien selain dari syariatnya, dia tidak akan diterima…" Serupa dengan Imam Qatadah, Ibnu Katsir menyebut "dien" dengan makna syariat, sedang Islam adalah syariat Muhammad saw.
Makna lebih tegas dapat ditangkap dari tafsir Abu Hayyan. Dalam Al-Bahrul-Muhiith, ketika sampai di ayat ini penulis berkata, "Yakni (makna dari "dien") adalah millah dan syariat". Makna kedua dari "dien" dengan arti ketaatan personal adalah seperti dalam Al-A'raaf ayat 29. Allah berfirman : "Katakanlah, Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil dan (mengatakan) hadapkanlah wajahmu dengan lurus di tiap masjid dan berdoalah dengan mengikhlaskan dien bagi-Nya".
Kata Imam Ath-Thabari, "Beribadahlah untuk Tuhanmu dengan mengikhlaskandien dan ketaatan dan jangan mencampurinya dengan syirik." Ath-Thabari menyandingkan makna "dien" dalam ayat ini dengan ketaatan. Al-Baghawi menyatakan makna "dien" di ayat ini sebagai "ketaatan dan ibadah" Demikian pula Abu Hayyan dalam tafsirnya mengartikan "dien" dengan ketaatan.
Klasifikasi makna "dien" ini sangat berguna dalam menganalisa hubungan antara agama dan perilaku penganutnya dari sudut pandang Al-Qur'an dan tafsir.
Syariat Diniyyah
Ketika menafsirkan kata syariat dalam ayat Al-Maidah 48 Ibnu Katsir mengatakan, "Syariat secara bahasa berarti jalan yang terang menuju sumber air. Kemudian kata ini digunakan untuk menyebut syariat Allah bagi hamba-Nya yaitu dien". Ayat yang dimaksud adalah, "Dan Kami jadikan bagi tiap umat dari antara kamusyir'ah dan minhaj".
Keterangan Ibnu Katsir ini menggambarkan makna syariat adalah aturan yang ditetapkan Allah untuk menuju ridha-Nya. Ini adalah pengertian "syariah" dalam tafsir Al-Qur'an yang juga bisa didapat di berbagai kitab tafsir lain. Dengan pengertian ini, awalnya syariah ditujukan kepada segala sesuatu yang ditetapkan Allah dalam agamanya baik itu masalah ibadah maupun masalah keyakinan (aqidah). Namun dalam perkembangannya, kata "syariah" lebih khusus hanya digunakan sebagai undang-undang Allah mengenai perbuatan manusia (ahkam syar'iyah).
Dalam perbandingan agama, unsur-unsur pokok yang melembagakan agama-agama besar dunia ada empat yaitu tuhan, kitab suci, formalitas peribadatan (thuqus wa marasim) dan sistem keyakinan ('aqa'id). Kepercayaan-kepercayaan lokal mungkin minus kitab suci dan bertahan dengan tradisi oral dan ritual sebagai referensi agama. Tapi unsur selainnya tetap sama.
Empat unsur agama ini intens dibicarakan dalam Al-Qur'an. Konsep Tuhan dalam Al-Qur'an diulas dengan berbagai uslub. Al-Qur'an membicarakan konsep Tuhan sebagai sesembahan (ilah), sebagai sebab penciptaan dan pengaturan alam (rabb) serta Dzat yang memiliki sifat-sifat. Al-Qur'an membicarakan kitab suci sebagai landasan agama yang merupakan firman Tuhan yang membimbing manusia. Juga dibicarakan kitab suci sebagai sasaran manipulasi.
Sistem keyakinan manusia dibicarakan dengan gaya kritik atau bimbingan. Masalah aqidah dalam Al-Qur'an dibicarakan memiliki genealogi dan sistem. Al-Qur'an sering mengajak manusia berfikir logis dan sistematis demi membuktikan kebenaran tauhid dan kebatilan syirik.
Adapun peribadatan formal (thuqus wa marasim diniyyah) adalah tatacara peribadatan yang diatur menurut otoritas ketuhanan. Menurut Al-Qur'an manusia harus patuh pada cara-cara yang ditentukan oleh Tuhan dalam melakukan ketundukan padaNya, bukannya membuat cara ibadah sendiri (bid'ah) dengan sesuka hatinya seperti yang dilakukan oleh musyrikin Arab atau orang-orang Yahudi.
Tuhan adalah pemegang otoritas tertinggi dalam agama yang menyampaikan wahyu, tertulis dalam bentuk kitab suci, berisi sistem keyakinan yang mendeskripsikan gambaran tentang Tuhan dan alam gaib serta tatacara ibadah sebagai media manusia dalam mengekspresikan ketundukannya. Pada kenyataannya, deskripsi Al-Qur'an terhadap agama-agama memang sesuai sebagaimana adanya. Referensi :
• Dr. M. Darraz, Lisaanul Arab.
• Ar-Raghib Al-Ashfahani, Mufradaatul Alfadhil Qur'an.
• Tafsir Ath-Thabari.
• Tafsir Ibnu Katsir.
• Tafsir Al-Bahrul Muhith.
• Tafsir Al-Baghawi.Lanjut Bab II