Post

Dien Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur'an

Bab II
Ketaatan Diniyah
Adapun “dien” dalam makna ketaatan berbeda lagi. Ketika dilihat dari sudut pengalaman personal, maka “dien” adalah proses interaksi manusia dengan syariat. Dalam interaksi ini dia melakukan interpretasi dan proses implementasinya nanti dipengaruhi banyak faktor luar dan dalam. Saat itu, dien terpengaruh keadaan-keadaan subyektif dan spesifik seorang hamba. Maka respon manusia terhadap agamapun menjadi saling berbeda tergantung kondisi subyektifnya yang dipengaruhi faktor ilmu, persepsi, karakter, pengalaman, kultur, lingkungan, ras, fisik dan seterusnya. Jadi, proses interpretasi dan pengamalan agama personal sangatlah relatif.
  Maka dari itu, Al-Qur’an menilai ketaatan hamba dalam agama ini perlu diberikan ukuran-ukuran standar. Ukuran dien yang paling baik adalah mukmin dan yang paling buruk adalah kafir. Demikian pula mukmin memiliki tingkatan-tingkatan dan kekufuran dengan derajat berbeda-beda. Tema yang dibicarakan di awal kitab Al-Qur’an adalah klasifikasi manusia menurut penerimaan mereka kepada agama, yaitu golongan mukmin, kafir dan munafiq (Q.S. Al-Baqarah [2] : 1-20). .
Dengan kata lain, implementasi agama sebagai konsep kedalam ruangan fakta tidak mesti selaras. Antara keduanya terbuka pada kesenjangan. .
Antara Syariah dan Ketaatan Melihat struktur syariat yang demikian, maka agama (dalam arti syariat) adalah satu institusi yang eksklusif, tertutup. Semua agama memiliki struktur formal yang permanen meski dalam bentuk yang berbeda-beda. Unsur-unsur agama membakukan kandungannya untuk menjaga dirinya dari penyelewengan. Tiap agama punya ‘tuhan’, kitab suci, sistem keyakinan dan prosedur ibadah yang berbeda-beda. Tapi semua unsur ini fungsinya sama. Tuhan adalah pemegang ororitas tertinggi, kitab suci adalah firman Tuhan rujukan agama, sistem keyakinan adalah deskripsi kepercayaan dan prosedur ibadah merupakan media ekspresi penganut agama. .
Setting agama seperti ini bersifat final, meskipun hal ini secara konsisten baru ada dalam tataran konsep ideal, mengingat dalam perjalanan sejarah, agama-agama (selain Islam) mengalami krisis yang membangkitkan gerakan reformasi teologis. Walaupun begitu, setiap agama tetap memegang konsep orisinalitas sebagai lembaga anti perubahan. .
Makanya, tiap agama selalu menekankan kesalehan pemeluknya dengan cara mengukur sejauh mana ia menerapkan ajaran-ajaran sebagaimana mestinya. Masing-masing agama juga punya konsep kekufuran (heresy). Kekufuran ini diukur melalui tingkat penyelewengan yang dilakukan seorang hamba terhadap kedah-kaedah agama. Demikian pula tiap agama juga memiliki konsep validitas. Dalam Islam persoalan validitas ini berkaitan dengan makna bid'ah. .
Semua agama menetapkan, tatacara ibadah formal harus diresmikan oleh Tuhan sebagai otoritas tertinggi. Meski dalam agama-agama diluar Islam, fungsi ini terlaksana melalui lembaga kerahiban (paus, pendeta, biksu, rabbi dan lainnya) tapi setidaknya lembaga ini menganggap diri mereka adalah wakil atau memiliki otoritas dari Tuhan. Dalam konsep semua agama, tidak mungkin suatu pengalaman personal dinilai sebagai prosedur ibadah agamawi. .
Oleh karena itu, ide liberalis untuk menyerahkan ekspresi beragama — baik dari segi keyakinan maupun tatacara ibadah — menurut cara masing-masing kelompok atau personal tanpa merujuk pada sistem agama, sebenarnya merupakan pemberontakan terhadap agama-agama. Bagaimana mungkin tindakan personal yang sangat subyektif dinilai sebagai ekspresi agamawi yang sah dengan mengabaikan ketentuan agama itu sendiri? Ide ini paradoks dengan konteks agama secara universal, kalau liberalis ingin menganggap ide tersebut relevan buat pemeluk agama. .
Tindakan tersebut tidak ada justifikasi dari agama manapun dan bertentangan dengan substansi dan fungsi agama itu sendiri. Maka tidak jujur kalau ada ide liberal mengatakan bahwa tindakan kebebasan ibadah didukung oleh agama. Apalagi jika disertai klaim landasan liberal ini digali dari dalil-dalil agama. Alasan kebebasan tentu bisa dilakukan oleh semua. Namun kebebasan bukan alasan untuk meninggalkan kejujuran. Terlebih lagi dalam usaha-usaha yang disebut ilmiah. .
Problematika Dien di Luar Islam.
Kedua makna “dien” juga menjadi sorotan Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an, para Rasul yang diutus sebelum Muhammad Saw juga membawa risalah yang bernama Islam. Mereka juga membawa Kitab Suci yang menjadi petunjuk mengenai kehendak Allah pada manusia. Tapi informasi dalam Al-Qur’an rata-rata menyebutkan kaum tempat diutusnya para Rasul kebanyakan ingkar sehingga Allah menurunkan adzab pada mereka. Jikalau diantara kaum itu beriman, biasanya generasi-generasi yang datang kemudian juga ingkar.
Dalam Al-Qur’an nama pemeluk agama yang ada pada saat kedatangan Islam hanya disebutkan empat kelompok, yaitu ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani),musyrikin, Shabi’in dan Majusi (Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. Q.S. Al-Hajj [22] : 17). Ahlul kitab mendasari ajaran mereka pada Kitab Suci peninggalan para nabi, sedangkan pemeluk agama lain mungkin memiliki Kitab Suci, tapi diragukan keterkaitannya dengan para Nabi. Tapi semua agama memiliki tradisi keagamaan oral maupun ritual yang dijadikan referensi.
Al-Qur’an mengkritik kitab-kitab suci atau tradisi keagamaan sebagai referensi yang diemplementasikan oleh para pemeluknya. Menurut Al-Qur’an, referensi agama-agama itu menyesatkan Tahrif terhadap kitab suci menyebabkan doktrin yang dilahirkannya sangat problematik. Sementara tradisi keagamaan yang ada tidak berdasarkan petunjuk Allah melainkan hanya mitos-mitos (asathiir), khayalan serta warisan dari nenek moyang yang sesat " Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk (Q.S. [5] : 104 dan Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata." (Q.S[21] : 53-54).
Islam juga mempermasalahkan sistem keyakinan di luar Islam mengenai hakekat Tuhan. Menurut Al-Qur'an, sesembahan mereka tidak berfungsi sebagai Tuhan yang sesungguhnya karena penuh dengan ketidakberdayaan). Sesembahan-sesembahan ini menjadi tuhan semata-mata karena disembah (ma’bud), bukan karena mereka memang pantas untuk disembah (ma’bud bi haqq). Mereka bukan Tuhan, bahkan mereka adalah makhluk biasa seperti yang lain. Sesembahan-sesembahan itu tidak sanggup menjawab permintaan para penyembah, mendatangkan mudharat ataupun manfaat
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.(Q.S. [5] : 45-46).
Penyembahan terhadap mereka dinilai Al-Qur’an sebagai sia-sia, kebodohan, kebutaaan hati dan kezaliman yang nyata “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Q.S. [31] : 13)dan “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.(Q.S [22] : 46). Maka dari itu, sebagai syariat, dien diluar Islam dinilai Al-Qur’an “bukan agama yang benar”, “bukan agama Allah”, “tidak diterima” dan “membuat pemeluknya rugi di akhirat” Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S. [3] : 85 )
Kritik terhadap pemeluk agama di luar Islam juga berlangsung kepada dua umat, yaitu umat sebelum kedatangan Islam dan sesudah kedatangan Islam. Kepada umat sebelum Islam, Al-Qur’an banyak bercerita tentang keadaan para pengingkar agama Allah yang dibawa para Rasul. Al-Qur’an juga menceritakan keadaan umat-umat yang menjadi murtad dan kafir setelah ditinggal oleh Nabinya. Bahkan kekafiran ini semakin lama berubah menjadi sistem dan terlembagakan melalui institusi keagamaan. Al-Qur’an membuktikan pelembagaan kekufuran ini dengan adanya institusi keagamaan yang melakukan tahrif (pemalsuan) terhadap Kitab Suci “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Q.S. [9] : 31)
dan menyembunyikan firman Allah yang benar (kitmanul haq) Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan (Q.S. [5] : 15), sehingga dikenal saat itu adanya kitab-kitab rahasia (asfaar sirriyah). Juga insitusi kerahiban yang membuat undang-undang palsu atas nama Tuhan . Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, karena apa yang mereka kerjakan.(Q.S [2] 79)
Adapun kepada umat sesudah Islam, Al-Qur’an mengecam tindakan manusia yang menolak kebenaran Islam yang menurut Al-Qur’an telah datang dengan segala bukti nyata “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran), di dalamnya terdapat (isi) Kitab-kitab yang lurus (Q.S. [98] : 1-3).
Menurut Al-Qur’an, penolakan manusia terhadap Islam tidak beralasan karena Rasul yang membawa agama ini telah menunjukkan mukjizat yang tak terbantahkan. Khusus kepada pemeluk agama yang punya Kitab Suci, menurut Al-Qur’an, keimanan pada Muhammad saw. justru bagian dari perintah kitab suci itu, sehingga penolakan mereka terhadap Muhammad bertentangan dengan ajaran mereka sendiri” Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka, Diantara mereka ada golongan yang pertengahan Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. [5] : 66-67). Allah mencela pengingkaran ahlul kitab pada Muhammad yang kenabiannya jelas-jelas telah disebutkan dalam Kitab Suci mereka” Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Q.S. [2] : 146). Al-Qur’an mengkritik motif yang melandasi penolakan manusia pada Islam, yaitu ketakaburan, pengingkaran kepada kebenaran dan mengikuti hawa nafsu :
karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu[1261]. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu (Q.S. [35] : 43)
Katakanlah: "Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy,Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. (Q.S [17] : 42-43)
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, (Q.S [19] : 59),
Dan “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil[203], dan menyembunyikan kebenaran,padahal kamu mengetahuinya (Q.S [3] : 71). Takabbur maknanya adalah sikap menganggap diri sendiri lebih tinggi ('uluw, isti'laa') disertai rasa merendahkan dan menghina orang lain yaitu para pembawa kebenaran dan para pendukungnya. Jadi, sikap penolakan terhadap Islam dinilai tidak berdasarkan alasan logis, melainkan karena egoisme semata. Maka dari itu, Al-Qur’an tidak ragu menyatakan kekufuran manusia yang mengingkari Islam baik itu ahlul kitabmaupun kaum musyrikin: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus, Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Q.S. [98] : 5-6).
Kesimpulannya, keadaan dien di luar Islam baik sebagai syariat atau pengamalan keduanya sangat problematik. Syariat telah mengalami manipulasi sehingga sulit menemukan unsur aslinya. Demikian pula, tradisi keagamaan masyarakat sarat dengan mitos. Para penyembah kehilangan tuntunan yang benar dan berada di luar jalan Allah karena mereka terhalang untuk mendapatkan petunjuk yang benar dari referensi agama mereka.
Referensi :
• Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal.
• Ali Abdul Wahid Wafi, Asfaar Muqaddasah. Lanjut Bab III

Translate

© Copyright 2013 ujan tampear powered by Blogger |