
Sejarah Gerakan Mesionaris diDunia Islam 10
Negara Indonesia yang terletak di Asia Tenggara ini, merupakan , sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar 200 juta muslim hidup di negara ini. Artinya, sekitar 90 persen dari total populasi negara ini adalah muslim. Jumlah muslim yang amat besar, yang berada di sebuah negara dengan hasil alam yang amat kaya, terutama gas dan minyak, menjadikan Indonesia sebagai sebuah target penting bagi para misionaris. .
Indonesia selama lebih dari tiga abad berada di bawah penjajahan negara-negara Barat, seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. Setelah melakukan perjuangan melawan Belanda, akhirnya rakyat Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kehadiran imperialisme Belanda yang memakan waktu hingga 350 tahun menciptakan kesempatan yang sangat luas bagi masuknya delegasi-delegasi misionaris Barat ke Indonesia. Sebagaimana telah kami bahas pada bagian-bagian yang lalu, misionaris selalu menjadi pendukung utama imperialisme. Karena itu, program-program misionaris selalu sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh kaum penjajah. Belanda yang
Indonesia selama lebih dari tiga abad berada di bawah penjajahan negara-negara Barat, seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. Setelah melakukan perjuangan melawan Belanda, akhirnya rakyat Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kehadiran imperialisme Belanda yang memakan waktu hingga 350 tahun menciptakan kesempatan yang sangat luas bagi masuknya delegasi-delegasi misionaris Barat ke Indonesia. Sebagaimana telah kami bahas pada bagian-bagian yang lalu, misionaris selalu menjadi pendukung utama imperialisme. Karena itu, program-program misionaris selalu sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh kaum penjajah. Belanda yang
selama tahun-tahun pertama abad ke-17 melancarkan program imperialismenya di Asia Tenggara dan Timur Jauh, juga menggunakan bantuan dari para misionaris. .
VOC atau Perusahaan Belanda di Hindia Timur yang dibentuk sejak tahun 1602 yang merupakan wakil imperialisme Belanda di Asia Tenggara, selalu melindungi para misionaris dan rakyat pribumi di Asia Tenggara dipaksa untuk mau menerima ajaran Kristen. Latourette, penulis buku sejarah Kristen yang berjudul “A History of Christianity” , meskipun berusaha mengaburkan adanya hubungan antara misionaris dengan program-program imperialisme, mengakui dalam bukunya itu, bahwa “Prinsip dan kaidah Kristen dalam kebijakan-kebijakan imperialisme Belanda memainkan peranan yang sangat banyak.” .
Sementara para penjajah Belanda memaksa rakyat pribumi untuk menerima ajaran Kristen, sebaliknya, jika seorang Belanda masuk Islam, keuangannya akan dihentikan dan orang itu akan ditangkap serta dikeluarkan dari wilayah tersebut. Perlindungan para imperialisme Barat terhadap para misionaris di Asia tenggara, termasuk Indonesia, menyebabkan mereka memiliki posisi penting dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat, ketika Indonesia meraih kemerdekaannya, orang-orang Kristen di negara ini menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan memiliki pengaruh yang besar dalam percaturan politik Indonesia. Contoh penting mengenai pengaruh Kristen di Indonesia, adalah dalam proses penyusunan UUD RI. Pada konsep UUD tersebut, disebutkan kelima “Ketuhanan yang Mahaesa dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penulisan konsep ini didasarkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Namun, karena kuatnya pengaruh Kristen yang jumlahnya hanya 8 persen itu, kalimat tersebut diubah dan hanya ditulis “Ketuhanan Yang Mahaesa”. .
Dewasa ini, aktivitas misionaris di Indonesia dilakukan dengan berbagai metode. Di antaranya, dengan berlindung di balik organisasi-organisasi internasional seperti WHO, FAO, UNESCO, dan UNICEF. Para misionaris itu banyak melakukan kegiatannya di daerah-daerah yang penduduknya miskin dan terisolir, seperti di sebagian kawasan Irian Jaya dan Sulawesi. Mereka mengirimkan dokter dan guru-guru ke daerah-daerah itu serta mendirikan yayasan-yasayan sosial, dengan tujuan untuk mendekati dan menarik hati masyarakat pribumi. .
Di antara yayasan-yayasan misionaris yang aktif di Indonesia adalah Nehemia Foundation yang sering disebut sebagai CCN. Lembaga ini didirikan pada tahun 1987 oleh Pendeta Suradi dengan tujuan untuk mendidik para pendakwah Kristen. Namun, dengan melihat cara kerja yayasan ini, para tokoh Islam Indonesia berkeyakinan bahwa tujuan yayasan ini adalah untuk menghina Islam. Untuk mecapai tujuan ini, yayasan tersebut melakukan berbagai usaha, di antaranya menciptakan ayat dan hadis-hadis palsu. .
Beberapa waktu yang lalu, majalah Moslem Media terbitan London menuliskan laporannya tentang program Dewan Gereja Indonesia yang bertujuan untuk mengkristenkan masyarakat Indonesia. Berdasarkan program ini, Dewan Gereja menyuruh para anggotanya untuk ikut serta dalam aktivitas politik, ekonomi, dan budaya agar bisa meraih puncak kekuasaan dan bisa mengendalikan politik negara itu sesuai dengan kepentingan gereja. Disebutkan pula bahwa Dewan Gereja juga menyuruh agar para anggotanya mendekati orang Indonesia keturunan Cina karena mereka lebih mudah untuk ditarik ke dalam agama Kristen dan posisi mereka di Indonesia bisa menguntungkan Kriten.
Dalam majalah Sabili terbitan Indonesia pada edisi 05 tahun 2003, dituliskan laporan mengenai aktivitas misionaris di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di masa lalu, Kerajaan Gowa adalah sebuah kerajaan Islam yang gigih berjuang mengusir Belanda dari tanah air Indonesia. Namun kini, Gowa adalah lahan empuk bagi para misionaris. Misalnya, di kelurahan Malino sejak Februari 1974, didirikan Sekolah AlKitab, yang merupakan salah satu dari sekitar 25 sekolah Alkitab Gereja Pantekosta di bawah naungan Belanda. Di kelurahan ini, ada 7 gereja yang aktif. Di desa Sicini, yang penduduknya merupakan masyarakat miskin terbesar di Gowa, para misionaris gencar mengirimkan bantuan-bantuan kepada masyarakat. Mereka mendapatkan dukungan dana dari Vatikan, AS, Kananda, dan Belanda. Di desa-desa lainnya di Gowa pun, situasinya tak jauh berbeda. Para misionaris dengan giat menyalurkan bahan pangan, uang, alat tulis, pakaian bekas. Mereka juga mengadakan pelatihan peternakan dan pertanian kepada masyarakat, bahkan membangun jaringan pipa air bersih. Semua kegiatan ini ditujukan untuk menarik hati masyarakat pribumi dan mengajak mereka untuk memeluk agama Kristen.
Sejak abad ke-12 hingga 13, Bangladesh berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu atau Budha. Kemudian, pada abad ke-13, pengaruh Islam masuk ke wilayah ini, sehingga mayoristas penduduknya memeluk agama Islam. Pada tahun 1757, Inggris menjajah anak benua India, termasuk Bangladesh. Ketika Inggris angkat kaki dari kawasan itu, pada tahun 1947 berdirilah negara Islam Pakistan, yang wilayahnya juga meliputi Bangladesh. Namun, pada tahun 1971, Bangladesh memisahkan diri dan menjadi negara yang independen.
Bangladesh memiliki 120 juta penduduk dan merupakan salah satu negara yang terpadat penduduknya di dunia. Sembilan puluh persen populasi Bangladesh beragama Islam, dan sisanya Hindu, Budha, dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian negara yang lemah, membuat negara ini menajdi lahan yang subur bagi perkembangan gerakan misionaris. Sebagaimana yang mereka lalukan di negara-negara lainnya, para misionaris melakukan kegiatannya di Bangladesh dengan berkedok memberi bantuan materi. Dengan mendirikan lembaga-lembaga sosial yang memberikan bantuan kepada masyarakat, mereka berusaha untuk menarik hati para warga pribumi Bangladesh. Para misionaris di Bangladesh umumnya aktif di pedesaan yang padat penduduk.
Masuknya misionaris ke Bangladesh memiliki sejarah yang panjang. Gerakan misionaris pertama datang dari Portugis pada abad ke-16. Hingga tahun 1673, tercatat lebih dari 30.000 orang Bangladesh yang menganut agama Kristen Katolik. Pada tahun 1974, berdirilah gereja Katolik Roma yang ditangani oleh 260 misionaris asing. Gerakan misionaris Protestan yang tertua di Bangladesh adalah British Baptist Misionarries Society, yang mulai berjalan tahun 1793. Sampai tahun 1980, ada 21 kelompok misionaris Protestan yang aktif di Bangladesh dan memiliki 270 pekerja asing. Grup misionaris terbesar bernama Association of Baptist for World Evangelization yang memiliki 40 orang pekerja misionaris asing.
Respon para misonaris terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat miskin Bangladesh, seperti bencana alam dan kelaparan, membuat banyak warga pribumi Bangladesh yang menerima ajaran Kristen. Bahkan, gereja-gereja Baptis, Anglikan, dan Katolik menyatakan bahwa mereka menerima permintaan dari seluruh desa dari kasta Namasudra untuk menjadi pemeluk Kristen, tetapi permintaan itu belum bisa terpenuhi karena kurangnya tenaga misionaris yang ada.
Penduduk Bangladesh di daerah pegunungan umumnya bersuku-suku. Para misionaris menyadari bahwa para anggota suku tersebut satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu, mereka melakukan aktivitas misionarisnya secara menyeluruh dalam satu suku, bukan dengan melakukan pendekatan secara perorangan. Seorang atau sekelompok misionaris selama beberapa tahun hidup di sebuah suku dan mengajarkan ajaran Kristen kepada warga suku tersebut. Karena tingkat pendidikan warga pedesaan Bangladesh amat rendah, maka misionaris menyampaikan ajaran mereka melalui dongeng-dongeng.
Mengenai dongeng-dongeng rakyat Bangladesh ini, National News Agency of Bagladesh menulis, “Para misionaris dari Inggris dan Amerika berperan besar dalam pengumpulan dan penerbitan dongeng-dongeng rakyat Bangladesh. Karena tujuan mereka adalah untuk menyebarkan Kristen di tengah masyarakat pribumi, mereka mempelajari adat pribumi dengan tekun. Di antara para misionaris ini, yang paling terkenal adalah William Carey. Dia mengajar di Fort William College dari tahun 1800-1831 dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Bengali serta menggalakkan penerjemahan dongeng dari bahasa Sanskerta yang sebelumnya hanya didengar dari mulut-ke mulut.”
Para misionaris mengetahui bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan jalan terbaik untuk mempengaruhi masyarakat. Karena itulah, mereka mendirikan sekolah-sekolah, universitas, bahkan taman kanak-kanak. Di antaranya adalah empat sekolah misionaris, yaitu “Bibble Correspondence School,” yang didirikan di kota Dakka, ibu kota Bangladesh. Seorang misionaris di Bangladesh mengisahkan, “Untuk memisahkan anak-anak dari orangtuanya, kami mendirikan banyak sekolah yang jauh dari lokasi pemukiman masyarakat. Dengan cara ini, hubungan anak-anak dengan orangtuanya terputus dan mereka sepenuhnya bergantung kepada kami.”
Sebagaimana di negara-negara lainnya, para misionaris di Bangladesh menanamkan modal yang besar dalam bidang penerbitan buku-buku Kristiani. Lembaga-lembaga misionaris yang ada aktif menerjemahkan Injil ke bahasa Bengali dan mencetaknya dalam jumlah besar lalu menyebarkannya kepada masyarakatan secara gratis. Menurut catatan sebuah lembaga misionaris “Bangladesh Bible Society, pada tahun 1977 saja, dicetak sebanyak 2,055,757 naskah Injil Perjanjian Baru.
Metode lain yang digunakan para misionaris di Bangladesh adalah dengan menarik perhatian para perempuan. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa lembaga didirikan, di antaranya pusat pendidikan Holy Cross yang menyebarluaskan propaganda kebebasan perempuan. Lembaga-lembaga ini bertujuan, kalaupun tidak berhasil mengkristenkan kaum perempuan Bangladesh, minimalnya, mereka bisa menyebarluaskan budaya Barat di tengah kaum perempuan.
Abdul Karim Khan, seorang penulis Bangladesh pernah menulis tentang aktivitas misionaris di negara itu. Dia menyatakan bahwa tujuan para misionaris adalah untuk mengubah Bangladesh menjadi negara seperti Nigeria, yang jumlah muslim dan Kristennya seimbang. Bila komposisi berimbang ini bisa dicapai, para misionaris bisa mempengaruhi percaturan politik Bangladesh. Abdul Karim Khan menulis sebagai berikut, “Pekerjaan para misionaris di Bangladesh sangat membahayakan bangsa. Mereka mengikis habis keimanan kaum muslim yang miskin serta menyebarkan ideologi politik dan kebudayaan Barat di Bangladesh. Tak boleh dilupakan bahwa pelindung para misionaris ini adalah negara-negara Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, sebagian besar misionaris cenderung patuh kepada kepentingan negara-negara Barat. Inilah yang menjadi alasan bahwa dimanapun para misionaris melakukan aktivitasnya, maka negara itu pasti akan berada dalam bahaya.”
Berdasarkan tulisan di salah satu edisi dari majalah Times terbitan Amerika, misionaris yang dikirim ke negara-negara Islam antara tahun 1982 dan 2001, jumlahnya telah meningkat dua kali lipat. Biasanya, negara-negara yang mengalami pergolakan dan ketidakstabilan politik akibat perang internal, menjadi sasaran utama para misionaris tersebut. Afghanistan dan Irak, merupakan di antara negara-negara muslim yang mengalami ketidakstabilan politik dan menjadi lahan subur bagi para misionaris untuk melancarkan aktivitasnya.
Dalam tiga dekade terakhir ini, situasi politik dalam negeri Afghanistan telah memberi peluang kepada para misionaris untuk melancarkan gerakan Kristenisasinya di sana. Sebagaimana yang kita ketahui, selama bertahun-tahun peperangan antara Mujahidin Afghanistan melawan Tentara Merah Soviet, sebagian rakyat Afghanistan mengungsi ke Pakistan. Pada periode tersebut, para misionaris dengan berkedok organisasi pemberi bantuan internasional dari berbagai negara Eropa dan AS, berdatangan ke Pakistan. Mereka berusaha keras agar bisa mempengaruhi rakyat Afganistan dengan memanfaatkan kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka. Ribuan naskah Injil dan buku-buku propaganda Kristen lainnya disebarkan di antara para pengungsi Afghanistan agar mereka tertarik kepada ajaran Kristen. Namun, aktivitas para misionaris itu tidak mencapai keberhasilan karena ikatan yang kuat antara rakyat Afghan dengan agama dan keyakinan mereka, serta usaha para ulama dan kelompok Mujahidin Afghanistan untuk memberikan penerangan kepada rakyat tentang tujuan para misionaris itu.
Dimulainya perang internal antara kelompok Mujahidin dengan kelompok Thaliban, yang berhasil menguasai pemerintahan di Afghanistan, menambah penderitaan rakyat. Kelompok Thaliban yang bersikap kasar dan keras sekaligus menerapkan politik yang kaku dan ketat atas nama Islam, telah membuat kehidupan rakyat Afghan sangat tertekan. Kesempatan ini digunakan para misionaris Barat untuk menyebarluaskan ajaran dan budaya Kristen, kembali dengan berkedok organisasi pemberi bantuan internasional. Menyusul adanya serangan dan pendudukan AS di Afghanistan, para misionaris semakin leluasa melakukan aktivitasnya karena mendapatkan perlindungan dari para tentara AS.
Perlu disebutkan pula, organisasi pemberi bantuan AS, biasanya terdiri dari kelompok-kelompok yang beraliran ekstrim Kristen-Zionis. Kelompok ini memiliki pengaruh besar di Gedung Putih dan merupakan pendukung politik konfrontatif AS, di antaranya invasi ke Irak dan Afghanistan. Menyusul invasi AS ke Irak, puluhan organisasi misionaris dengan berlindung di balik nama organisasi pemberi bantuan, telah dikirimkan ke Irak.
Beberapa waktu yang lalu, harian "Independent" terbitan London menurunkan sebuah makalah karya Andrew Campbell. Ia menulis, "Delapan ratus orang misionaris Kristen dengan dalih menyebarkan bantuan makanan, telah berangkat ke Irak untuk menyebarluaskan ajaran Kristen. Kelompok ini berencana untuk membagi-bagikan Injil yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka ini datang dari kelompok-kelompok Kristen yang sangat anti Islam."
Dengan kehadiran tentara AS di Irak, bukan hanya para misionaris yang mendapat kesempatan untuk beraktivitas di Irak. Orang-orang Yahudi pun tidak ketinggalan untuk berusaha menarik pendukung dari kalangan orang-orang Irak. Kelompok Yahudi ini berusaha menyebarluaskan pemikiran mereka dengan membagi-bagikan Taurat. Beberapa waktu yang lalu, beberapa media massa Turki melaporkan penahanan sekelompok orang oleh badan keamanan Turki di dekat perbatasan Turki dan Irak. Mereka saat itu tengah berusaha untuk membawa ribuan jilid Taurat ke Irak.
Usaha para misionaris Yahudi untuk menyebarluaskan Taurat di Irak ini bisa kita tinjau dari keyakinan mereka mengenai tanah yang dijanjikan Tuhan bagi orang-orang Yahudi. Dalam keyakinan mereka yang salah tersebut, Irak merupakan bagian dari tanah yang dijanjikan itu. Sebagaimana yang diberitakan, pemerintah AS berencana untuk membagi-bagi kawasan Irak dan mengubah kebudayaan kawasan utara Irak. Oleh karena itu, penyebaran Taurat memiliki peran dalam mencapai tujuan tersebut.
Masuknya para misionaris ke Afghanistan dan Irak, menyusul invasi AS ke kedua negara ini, merupakan sebuah fakta yang perlu dibahas lebih lanjut. Sebagaimana yang ditulis oleh majalah Time, dari tiap dua orang misionaris yang dikirim oleh Barat ke negara-negara muslim, salah satunya adalah warga negara AS. Mereka dengan berbagai cara berusaha untuk menarik perhatian rakyat miskin. Mereka memberikan obat-obatan kepada anak-anak dan menyediakan vaksin untuk hewan ternak. Mereka juga mengajak rakyat miskin itu untuk ikut serta dalam upacara doa Kristiani mereka. Semua itu dalam rangka mengubah kaum muslimin menjadi pemeluk Kristen

Sementara para penjajah Belanda memaksa rakyat pribumi untuk menerima ajaran Kristen, sebaliknya, jika seorang Belanda masuk Islam, keuangannya akan dihentikan dan orang itu akan ditangkap serta dikeluarkan dari wilayah tersebut. Perlindungan para imperialisme Barat terhadap para misionaris di Asia tenggara, termasuk Indonesia, menyebabkan mereka memiliki posisi penting dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat, ketika Indonesia meraih kemerdekaannya, orang-orang Kristen di negara ini menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan memiliki pengaruh yang besar dalam percaturan politik Indonesia. Contoh penting mengenai pengaruh Kristen di Indonesia, adalah dalam proses penyusunan UUD RI. Pada konsep UUD tersebut, disebutkan kelima “Ketuhanan yang Mahaesa dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penulisan konsep ini didasarkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Namun, karena kuatnya pengaruh Kristen yang jumlahnya hanya 8 persen itu, kalimat tersebut diubah dan hanya ditulis “Ketuhanan Yang Mahaesa”. .
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Di antara yayasan-yayasan misionaris yang aktif di Indonesia adalah Nehemia Foundation yang sering disebut sebagai CCN. Lembaga ini didirikan pada tahun 1987 oleh Pendeta Suradi dengan tujuan untuk mendidik para pendakwah Kristen. Namun, dengan melihat cara kerja yayasan ini, para tokoh Islam Indonesia berkeyakinan bahwa tujuan yayasan ini adalah untuk menghina Islam. Untuk mecapai tujuan ini, yayasan tersebut melakukan berbagai usaha, di antaranya menciptakan ayat dan hadis-hadis palsu. .
Beberapa waktu yang lalu, majalah Moslem Media terbitan London menuliskan laporannya tentang program Dewan Gereja Indonesia yang bertujuan untuk mengkristenkan masyarakat Indonesia. Berdasarkan program ini, Dewan Gereja menyuruh para anggotanya untuk ikut serta dalam aktivitas politik, ekonomi, dan budaya agar bisa meraih puncak kekuasaan dan bisa mengendalikan politik negara itu sesuai dengan kepentingan gereja. Disebutkan pula bahwa Dewan Gereja juga menyuruh agar para anggotanya mendekati orang Indonesia keturunan Cina karena mereka lebih mudah untuk ditarik ke dalam agama Kristen dan posisi mereka di Indonesia bisa menguntungkan Kriten.
Dalam majalah Sabili terbitan Indonesia pada edisi 05 tahun 2003, dituliskan laporan mengenai aktivitas misionaris di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di masa lalu, Kerajaan Gowa adalah sebuah kerajaan Islam yang gigih berjuang mengusir Belanda dari tanah air Indonesia. Namun kini, Gowa adalah lahan empuk bagi para misionaris. Misalnya, di kelurahan Malino sejak Februari 1974, didirikan Sekolah AlKitab, yang merupakan salah satu dari sekitar 25 sekolah Alkitab Gereja Pantekosta di bawah naungan Belanda. Di kelurahan ini, ada 7 gereja yang aktif. Di desa Sicini, yang penduduknya merupakan masyarakat miskin terbesar di Gowa, para misionaris gencar mengirimkan bantuan-bantuan kepada masyarakat. Mereka mendapatkan dukungan dana dari Vatikan, AS, Kananda, dan Belanda. Di desa-desa lainnya di Gowa pun, situasinya tak jauh berbeda. Para misionaris dengan giat menyalurkan bahan pangan, uang, alat tulis, pakaian bekas. Mereka juga mengadakan pelatihan peternakan dan pertanian kepada masyarakat, bahkan membangun jaringan pipa air bersih. Semua kegiatan ini ditujukan untuk menarik hati masyarakat pribumi dan mengajak mereka untuk memeluk agama Kristen.
Sejak abad ke-12 hingga 13, Bangladesh berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu atau Budha. Kemudian, pada abad ke-13, pengaruh Islam masuk ke wilayah ini, sehingga mayoristas penduduknya memeluk agama Islam. Pada tahun 1757, Inggris menjajah anak benua India, termasuk Bangladesh. Ketika Inggris angkat kaki dari kawasan itu, pada tahun 1947 berdirilah negara Islam Pakistan, yang wilayahnya juga meliputi Bangladesh. Namun, pada tahun 1971, Bangladesh memisahkan diri dan menjadi negara yang independen.
Bangladesh memiliki 120 juta penduduk dan merupakan salah satu negara yang terpadat penduduknya di dunia. Sembilan puluh persen populasi Bangladesh beragama Islam, dan sisanya Hindu, Budha, dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian negara yang lemah, membuat negara ini menajdi lahan yang subur bagi perkembangan gerakan misionaris. Sebagaimana yang mereka lalukan di negara-negara lainnya, para misionaris melakukan kegiatannya di Bangladesh dengan berkedok memberi bantuan materi. Dengan mendirikan lembaga-lembaga sosial yang memberikan bantuan kepada masyarakat, mereka berusaha untuk menarik hati para warga pribumi Bangladesh. Para misionaris di Bangladesh umumnya aktif di pedesaan yang padat penduduk.
Masuknya misionaris ke Bangladesh memiliki sejarah yang panjang. Gerakan misionaris pertama datang dari Portugis pada abad ke-16. Hingga tahun 1673, tercatat lebih dari 30.000 orang Bangladesh yang menganut agama Kristen Katolik. Pada tahun 1974, berdirilah gereja Katolik Roma yang ditangani oleh 260 misionaris asing. Gerakan misionaris Protestan yang tertua di Bangladesh adalah British Baptist Misionarries Society, yang mulai berjalan tahun 1793. Sampai tahun 1980, ada 21 kelompok misionaris Protestan yang aktif di Bangladesh dan memiliki 270 pekerja asing. Grup misionaris terbesar bernama Association of Baptist for World Evangelization yang memiliki 40 orang pekerja misionaris asing.
Respon para misonaris terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat miskin Bangladesh, seperti bencana alam dan kelaparan, membuat banyak warga pribumi Bangladesh yang menerima ajaran Kristen. Bahkan, gereja-gereja Baptis, Anglikan, dan Katolik menyatakan bahwa mereka menerima permintaan dari seluruh desa dari kasta Namasudra untuk menjadi pemeluk Kristen, tetapi permintaan itu belum bisa terpenuhi karena kurangnya tenaga misionaris yang ada.
Penduduk Bangladesh di daerah pegunungan umumnya bersuku-suku. Para misionaris menyadari bahwa para anggota suku tersebut satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu, mereka melakukan aktivitas misionarisnya secara menyeluruh dalam satu suku, bukan dengan melakukan pendekatan secara perorangan. Seorang atau sekelompok misionaris selama beberapa tahun hidup di sebuah suku dan mengajarkan ajaran Kristen kepada warga suku tersebut. Karena tingkat pendidikan warga pedesaan Bangladesh amat rendah, maka misionaris menyampaikan ajaran mereka melalui dongeng-dongeng.
Mengenai dongeng-dongeng rakyat Bangladesh ini, National News Agency of Bagladesh menulis, “Para misionaris dari Inggris dan Amerika berperan besar dalam pengumpulan dan penerbitan dongeng-dongeng rakyat Bangladesh. Karena tujuan mereka adalah untuk menyebarkan Kristen di tengah masyarakat pribumi, mereka mempelajari adat pribumi dengan tekun. Di antara para misionaris ini, yang paling terkenal adalah William Carey. Dia mengajar di Fort William College dari tahun 1800-1831 dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Bengali serta menggalakkan penerjemahan dongeng dari bahasa Sanskerta yang sebelumnya hanya didengar dari mulut-ke mulut.”
Para misionaris mengetahui bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan jalan terbaik untuk mempengaruhi masyarakat. Karena itulah, mereka mendirikan sekolah-sekolah, universitas, bahkan taman kanak-kanak. Di antaranya adalah empat sekolah misionaris, yaitu “Bibble Correspondence School,” yang didirikan di kota Dakka, ibu kota Bangladesh. Seorang misionaris di Bangladesh mengisahkan, “Untuk memisahkan anak-anak dari orangtuanya, kami mendirikan banyak sekolah yang jauh dari lokasi pemukiman masyarakat. Dengan cara ini, hubungan anak-anak dengan orangtuanya terputus dan mereka sepenuhnya bergantung kepada kami.”
Sebagaimana di negara-negara lainnya, para misionaris di Bangladesh menanamkan modal yang besar dalam bidang penerbitan buku-buku Kristiani. Lembaga-lembaga misionaris yang ada aktif menerjemahkan Injil ke bahasa Bengali dan mencetaknya dalam jumlah besar lalu menyebarkannya kepada masyarakatan secara gratis. Menurut catatan sebuah lembaga misionaris “Bangladesh Bible Society, pada tahun 1977 saja, dicetak sebanyak 2,055,757 naskah Injil Perjanjian Baru.
Metode lain yang digunakan para misionaris di Bangladesh adalah dengan menarik perhatian para perempuan. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa lembaga didirikan, di antaranya pusat pendidikan Holy Cross yang menyebarluaskan propaganda kebebasan perempuan. Lembaga-lembaga ini bertujuan, kalaupun tidak berhasil mengkristenkan kaum perempuan Bangladesh, minimalnya, mereka bisa menyebarluaskan budaya Barat di tengah kaum perempuan.
Abdul Karim Khan, seorang penulis Bangladesh pernah menulis tentang aktivitas misionaris di negara itu. Dia menyatakan bahwa tujuan para misionaris adalah untuk mengubah Bangladesh menjadi negara seperti Nigeria, yang jumlah muslim dan Kristennya seimbang. Bila komposisi berimbang ini bisa dicapai, para misionaris bisa mempengaruhi percaturan politik Bangladesh. Abdul Karim Khan menulis sebagai berikut, “Pekerjaan para misionaris di Bangladesh sangat membahayakan bangsa. Mereka mengikis habis keimanan kaum muslim yang miskin serta menyebarkan ideologi politik dan kebudayaan Barat di Bangladesh. Tak boleh dilupakan bahwa pelindung para misionaris ini adalah negara-negara Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, sebagian besar misionaris cenderung patuh kepada kepentingan negara-negara Barat. Inilah yang menjadi alasan bahwa dimanapun para misionaris melakukan aktivitasnya, maka negara itu pasti akan berada dalam bahaya.”
Berdasarkan tulisan di salah satu edisi dari majalah Times terbitan Amerika, misionaris yang dikirim ke negara-negara Islam antara tahun 1982 dan 2001, jumlahnya telah meningkat dua kali lipat. Biasanya, negara-negara yang mengalami pergolakan dan ketidakstabilan politik akibat perang internal, menjadi sasaran utama para misionaris tersebut. Afghanistan dan Irak, merupakan di antara negara-negara muslim yang mengalami ketidakstabilan politik dan menjadi lahan subur bagi para misionaris untuk melancarkan aktivitasnya.
Dalam tiga dekade terakhir ini, situasi politik dalam negeri Afghanistan telah memberi peluang kepada para misionaris untuk melancarkan gerakan Kristenisasinya di sana. Sebagaimana yang kita ketahui, selama bertahun-tahun peperangan antara Mujahidin Afghanistan melawan Tentara Merah Soviet, sebagian rakyat Afghanistan mengungsi ke Pakistan. Pada periode tersebut, para misionaris dengan berkedok organisasi pemberi bantuan internasional dari berbagai negara Eropa dan AS, berdatangan ke Pakistan. Mereka berusaha keras agar bisa mempengaruhi rakyat Afganistan dengan memanfaatkan kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka. Ribuan naskah Injil dan buku-buku propaganda Kristen lainnya disebarkan di antara para pengungsi Afghanistan agar mereka tertarik kepada ajaran Kristen. Namun, aktivitas para misionaris itu tidak mencapai keberhasilan karena ikatan yang kuat antara rakyat Afghan dengan agama dan keyakinan mereka, serta usaha para ulama dan kelompok Mujahidin Afghanistan untuk memberikan penerangan kepada rakyat tentang tujuan para misionaris itu.
Dimulainya perang internal antara kelompok Mujahidin dengan kelompok Thaliban, yang berhasil menguasai pemerintahan di Afghanistan, menambah penderitaan rakyat. Kelompok Thaliban yang bersikap kasar dan keras sekaligus menerapkan politik yang kaku dan ketat atas nama Islam, telah membuat kehidupan rakyat Afghan sangat tertekan. Kesempatan ini digunakan para misionaris Barat untuk menyebarluaskan ajaran dan budaya Kristen, kembali dengan berkedok organisasi pemberi bantuan internasional. Menyusul adanya serangan dan pendudukan AS di Afghanistan, para misionaris semakin leluasa melakukan aktivitasnya karena mendapatkan perlindungan dari para tentara AS.
Perlu disebutkan pula, organisasi pemberi bantuan AS, biasanya terdiri dari kelompok-kelompok yang beraliran ekstrim Kristen-Zionis. Kelompok ini memiliki pengaruh besar di Gedung Putih dan merupakan pendukung politik konfrontatif AS, di antaranya invasi ke Irak dan Afghanistan. Menyusul invasi AS ke Irak, puluhan organisasi misionaris dengan berlindung di balik nama organisasi pemberi bantuan, telah dikirimkan ke Irak.
Beberapa waktu yang lalu, harian "Independent" terbitan London menurunkan sebuah makalah karya Andrew Campbell. Ia menulis, "Delapan ratus orang misionaris Kristen dengan dalih menyebarkan bantuan makanan, telah berangkat ke Irak untuk menyebarluaskan ajaran Kristen. Kelompok ini berencana untuk membagi-bagikan Injil yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka ini datang dari kelompok-kelompok Kristen yang sangat anti Islam."
Dengan kehadiran tentara AS di Irak, bukan hanya para misionaris yang mendapat kesempatan untuk beraktivitas di Irak. Orang-orang Yahudi pun tidak ketinggalan untuk berusaha menarik pendukung dari kalangan orang-orang Irak. Kelompok Yahudi ini berusaha menyebarluaskan pemikiran mereka dengan membagi-bagikan Taurat. Beberapa waktu yang lalu, beberapa media massa Turki melaporkan penahanan sekelompok orang oleh badan keamanan Turki di dekat perbatasan Turki dan Irak. Mereka saat itu tengah berusaha untuk membawa ribuan jilid Taurat ke Irak.
Usaha para misionaris Yahudi untuk menyebarluaskan Taurat di Irak ini bisa kita tinjau dari keyakinan mereka mengenai tanah yang dijanjikan Tuhan bagi orang-orang Yahudi. Dalam keyakinan mereka yang salah tersebut, Irak merupakan bagian dari tanah yang dijanjikan itu. Sebagaimana yang diberitakan, pemerintah AS berencana untuk membagi-bagi kawasan Irak dan mengubah kebudayaan kawasan utara Irak. Oleh karena itu, penyebaran Taurat memiliki peran dalam mencapai tujuan tersebut.
Masuknya para misionaris ke Afghanistan dan Irak, menyusul invasi AS ke kedua negara ini, merupakan sebuah fakta yang perlu dibahas lebih lanjut. Sebagaimana yang ditulis oleh majalah Time, dari tiap dua orang misionaris yang dikirim oleh Barat ke negara-negara muslim, salah satunya adalah warga negara AS. Mereka dengan berbagai cara berusaha untuk menarik perhatian rakyat miskin. Mereka memberikan obat-obatan kepada anak-anak dan menyediakan vaksin untuk hewan ternak. Mereka juga mengajak rakyat miskin itu untuk ikut serta dalam upacara doa Kristiani mereka. Semua itu dalam rangka mengubah kaum muslimin menjadi pemeluk Kristen